Tuesday, December 4, 2007

Ibu Bagi Lingkungan

Katrina Koni Kii

“Mewariskan Hutan Cendana Bagi Anak Cucu di Pulau Sumba”

Tidak ada yang sia-sia dari sekecil apapun yang kita kerjakan jika dilandasi tujuan mulia. Pernyataan inilah yang mungkin tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh Katrina Koni Kii. Perempuan berusia 63 tahun itu seakan tidak percaya ketika suatu hari menerima jabat tangan dan ucapan selamat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Cipanas, pada tahun 2005. Saat itu pula ia menerima kotak kaca berisi Kalpataru, lambang dari segala upaya pelestarian lingkungan hidup di Indonesia.

Katrina Koni Kii berasal dari Dusun Pokapaka, Desa Malimada, Kecamatan Wewewa Utara, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ia menerima penghargaan Kalpataru 2005 untuk kategori Perintis Lingkungan karena dinilai telah berjasa menghijaukan lahan kritis dengan tanaman kayu-kayuan, seperti cendana, lame, ello, mahoni, johar, dan kemiri.

Kabupaten Sumba Barat sejak dulu dikenal sebagai penghasil cendana (Santalum album L) berkualitas prima. Tanaman itu semakin hari semakin langka karena masyarakat setempat tidak lagi berminat untuk menanamnya. Jangka waktu tanam hingga menghasilkan terlalu lama, yakni diperlukan waktu sekitar 40 tahun. Katrina memprihatinkan keadaan ini dan mulai menanamnya kembali karena dorongan hati ingin mewariskan kepada anak-anak.

Kesempatan bertemu langsung dengan Presiden dan menerima Kalpataru serta uang tunai enam juta rupiah menjadi sesuatu yang sangat istimewa bagi seorang petani miskin seperti Katrina. Karena itu, ia rela meninggalkan kampung halamannya untuk sejenak dan menempuh perjalanan yang cukup berat.

Untuk sampai ke ibu kota kecamatan diperlukan waktu dua jam berjalan kaki mendaki dan menuruni bukit, melalui jalan berbatu dan terjal. Kemudian satu jam perjalanan kendaraan untuk mencapai Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat.

Dari Waikabubak diperlukan satu jam perjalanan lagi untuk sampai ke Lapangan Terbang Tambolaka. Katrina pun harus tiga kali berganti pesawat. Pertama di Bima (Nusa Tenggara Barat), kemudian Denpasar (Bali), dan Surabaya (Jawa Timur), sebelum sampai di Jakarta. Sebuah perjalanan yang melelahkan bagi Katrina, yang sehari-hari hanya berkutat di ladang. Pengalaman ini mungkin adalah pertama kalinya bagi Katrina meninggalkan kampung dan menempuh perjalanan yang begitu jauh ke ibu kota.

Dusun Pokapaka dengan penduduk sekitar 100 keluarga berada pada lahan berbukit dan berbatu sehingga rumah penduduk terpencar-pencar. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain bisa satu kilometer. Lahan yang berbatu sangat menyulitkan untuk mendapatkan sumber air.

Kondisi seperti itu menjadi tantangan bagi Katrina untuk membuktikan bahwa alam selalu bersahabat apabila manusia mau mengelolanya dengan baik. Ibu beranak lima itu berangkat dari niat menggarap lahan seluas sembilan hektar yang ditinggalkan mendiang suaminya pada tahun 1976. Mulailah ia menanam pohon apa saja di lahan yang terletak sekitar empat kilometer dari rumahnya itu. Ia menanam cendana supaya ada yang bisa diwariskan kepada anak dan cucunya kelak.

Mula-mula dia mendapat empat bibit pohon cendana dari petugas pertanian lapangan yang datang ke desanya. Namun, hanya dua pohon yang hidup dan berbiak sampai sekarang. Pohon tidak gampang tumbuh karena tanah di kampungnya berbatu-batu. Dua pohon cendana induk yang kini berumur hampir 30 tahun itu telah menghasilkan ratusan tunas-tunas baru.

Selain menanam tunas-tunas dari tanaman induk, Katrina juga mengambil dari pohon-pohon lain di sekitarnya. Katrina dibantu anak-anaknya telah menanam 400 pohon cendana di lahannya sendiri. Digabung dengan pohon-pohon jenis lain, jumlahnya melebihi 500 pohon.

Katrina tidak pernah mendapat penyuluhan bagaimana menanam pohon cendana. Ia hanya melakukannya dari hati dan dengan cara yang Ia pahami. Ia tidak pernah mengikuti penyuluhan yang dilakukan di balai desa, meskipun dia selalu mendapatkan undangan untuk hadir. Katrina menemukan sendiri cara-cara menanam pohon di lahan yang penuh tantangan itu. Sebelum menanam, Katrina terlebih dahulu membuat terasering sehingga dapat menampung tanah yang terbawa aliran air saat hujan. Ia membuat terasering karena kondisi lahan yang berbatu dan lapisan tanah permukaannya (top soil) tipis untuk penanaman bibit. Karena sulitnya mendapatkan air, penanaman dilakukan pada musim hujan.

Seiring makin banyaknya pohon tanaman keras yang ditanam, lahannya semakin subur. Daun-daun yang rontok menjadi humus, sedangkan akar-akarnya menahan erosi dan mencegah hilangnya top soil. Lahan yang subur di sela-sela pepohonan ditanami tanaman ladang, seperti ubi, jewawut, keladi, dan jagung yang merupakan makanan pokok bagi penduduk karena beras hanya didapat dari padi ladang atau beli di pasar.

Hasil kerja keras Katrina membuahkan hasil yang luar biasa bagi pengelolaan lahan berkelanjutan. Ia berhasil melestarikan pohon cendana yang mulai langka dan sekaligus menghijaukan bukit-bukit yang dulu gersang. Katrina memperoleh penghasilan tambahan dari tanaman semusim yang tumbuh subur.

Apa yang dihasilkan Katrina selama belasan tahun itu menginspirasi masyarakat sekitarnya. Mata mereka terbuka melihat lahan yang dulu gersang menjadi hijau. Masyarakat tidak lagi membuka ladang secara berpindah-pindah karena lahan sekitar mereka sudah subur dan mudah ditanami apa saja.

Bagi Katrina sendiri, penghargaan Kalpataru merupakan amanah untuk tetap melanjutkan upayanya melestarikan lingkungan. Tidak akan ada yang berubah, seperti biasa, Katrina ke ladang pagi dan sore. Ia akan terus mencari dan menanam bibit cendana.

Katrina berharap anak-anaknya dapat meneruskan yang telah ia rintis.Di tanah kelahirannya, sebuah dusun di atas bukit berbatu yang kini menghijau, Katrina menjadi ibu bagi ribuan pohon.

Sunday, December 2, 2007

Bersatu Mengatasi ”Global Warming”


”Awalya saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan pohon karet. Kemudian saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang saya sadar bahwa saya berjuang bagi kemanusiaan” (Chico Mendes)


Itulah sebagian kalimat yang diucapkan Chico Mendes sebelum ia tewas. Ia adalah seorang aktivis lingkungan Brasil yang berjuang mempertshankan hutan hujan Amazon dari kerusakan. Ucapan Chico jelas tidak keliru pun hingga saat ini. Ia berbicara tentang hubungan perjuangannya di tingkat lokal dalam hal ini yang dilakukan Chico (Brasil) dengan gerakan global bagi keadilan sosial (seluruh dunia).

Mengapa menjadi gerakan global bagi keadilan sosial? Karena melawan perubahan iklim adalah bagian dari perjuangan kemanusiaan. Alasannya, sederhana saja : karena bumi adalah menjadi satu-satunya tempat dimana semua mahluk bisa hidup didalamnya. Jadi, jika disalah satu bagian dunia melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat merusak lingkungan deangan banyak variabelnya, bagian dunia lainnya akan terkena dampaknya.

Sebagai catatan pemanasan global terjadi karena sumbangan terbesarnya akibat meningkatnya emisi Co2. Laju emisi Co2 setiap tahunnya mengalami peningkatan yang sigifikan. Masalah emisi Co2, juga masuk dalam kerangkan protokol Kyoto. Sangat tidak arif jika kita mempersalahkan salah satu pihak terlebih pada orang per orang. Tetapi, yang perlu dilakukan adalah langkah konkrit dari semua pihak dan semua orang untuk menyelamatkan bumi. Karena, pemanasan global mengancam kehidupan manusia itu sendiri.

Beberapa tahun ini, kita disuguhkan pertunjukan yang dimainkan oleh alam. Pertunjukan itu berupa; bencana dimana-mana, angin, badai, naiknya air laut ke daratan, dan yang paling memukau adalah sempuran lumpur. Kondisi ini keadaanya sangat timpang dibeberapa belahan dunia.

Menurut beberapa pendapat kondisi ini disebabkan alam yang berubah. Tetapi, lain halnya dengan pendapat para ilmuwan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengatakan; ” bukan alam yang berubah, tetapi akibat perbuatan manusia”. Dalam hal ini alam juga memiliki peranannya, tetapi sumbangan terbesarnya adalah ulah manusia.

Lantas apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas bumi dari pemanasan global? Pertama, mengubah perilaku hidup. Mulailah dengan kesadaran dari diri sendiri dengan cara efisiensi menggunakan energi dalam kegiatan sehari-hari. Karena, seperti diungkapkan diatas penyumbang terbesar dari terjadinya pemanasan global adalah emisi gas Co2.

Kedua, kita harus meningkatkan wawasan lingkungan. Berfikirlah bahwa bumi yang kita nikmati saat ini bisa juga dinikmati anak cucu kita kelak dalam keadaan yang baik. Bukankah petuah bijak; lebih baik mencegah dari pada mengobati (memperbaiki). Saya pikir pepatah itu benar, bayangkan jika hutan yang sekarang gundul dibabat oleh orang yang tidak bertanggung jawab kita obati. Maka, perlu 20 tahun untuk melihat hutan kita kembali seperti semula. Itu juga jika dilakukan dengan cara yang baik. Kalau tidak? Entahlah.........

Mencegah agar tidak terjadi kerusakan lingkungan juga bukan pekerjaan gampang jika tidak ingin dikatakan mustahil. Menjadi mustahil, jika tidak ada kesadaran dari tiap-tiap individu, pemerintah dan pihak-pihak lainnya. Di tingkat individu saja sudah muncul banyak kepentingan, apalagi dalam pemerintahan dimana kepentingan-kepentingan politik, ekonomi juga besar pengaruhnya terhadap limgkungan.

Kegiatan ekonomi cenderung mengesampingkan ekosistem. Padahal, ekonomi menjadi bagian dari ekosistem, tetapi biaya rusaknya lingkungan dan dampak sosial tidak pernah diperhitungkan.

Terlalu berlarut-larut dalam polemik dan banyak konsep tentang penyelamatan bumi dari ancaman pemanasan global, tanpa tindakan konkrit sama saja dengan mempercepat ambaruknya kualitas bumi.

Jika bumi yang sampai saat ini menjadi satu-satunya tempat bagi manusia untuk hidup dan kehidupannya ambruk. Hancur, dan tidak bisa lagi dihuni, apakah manusia akan melakukan ”bedol bumi” ke planet Mars, misalnya!

Saatnya Menyelamatkan Bumi!

Ibarat kapsul yang mengelilingi jagat raya, bumi kian sesak. Padahal, volumenya sama sekali tak bertambah. Belum lagi kondisi komponen-komponennya yang telah aus, usang, dan rusak disana-sini. Jika dibiarkan, bumi terancam beroperasi. Berhenti bergerak, ambruk. Kiamat. Barangkali.

Ambruknya kualitas bumi tersebut ditenggarai sebagai ulah manusia, yang dinilai terlampau asyik memuaskan syahwatnya tanpa mempedulikan akibatnya pada bumi. Mental dan nalar manusia yang merasa superior, berkuasa atas alam adalah sebagai muasalnya.

Alam, berikut segala isinya, dijadikan obyek yang inferior dihadapan manusia yang superior. Disinilah, ihwal remuknya kualitas bumi mulai mengarus deras. Atas nama kesejahteran manusia, bumi bisa diekploitasi sekehendak hati.

Mental seperti inilah yang membuat manusia yakin, bumi berikut energi yang dikandungnya tak akan pernah susut. Jika pun ada kerusakan, toh alam akan mampu dengan sendirinya menyesuaikan serta memperbaiki diri.

Bencana alam, bukan menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, ataupun menyadarkan manusia. Dan dianggap sebagai ritus alamiah yang rumlah terjadi.

Kiranya, masuk akal jika ada yang menuding bahwa kecenderungan untuk mengeksploitasi alam jauh lebih berakar dalam jantung peradaban manusia ketimbang kecenderungan untuk memelihara dan melindungi alam.

Ragam bencana yang melanda bangsa ini seperti, munculnya awan panas Gunung Merapi yang berkelanjutan, gempa bumi yang melanda Jogja dan Jateng, semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, serta yang paling baru terjadi yaitu naiknya air laut ke daratan di sebagian Jakarta dan daerah pantai utara Jawa. Bencana alam tersebut seperti sambung-menyambung menjadi satu, seakan tidak ada habisnya.

Dampak dari bencana ini cukuplah dasyat. Bagaimana tidak, dana taktis departemen sosial untuk penanggulangan bencana hingga ludes. Bencana alam yang banyak terjadi akhir-akhir ini sebenarnya menjadi tanda-tanda ketidaksanggupan alam menanggung beban ekploitasi yang dilakukan manusia.

Sudah seharusnya manusia tersadarkan, bahwa kualitas bumi sudah memprihatinkan. Untuk memperbaikinya tidak ada kata lain selain penyelamatan bumi. Inilah saat yang tepat untuk startingpoint (titik awal) proyek penyelamatan bumi.

Sebagai ikhtiar pembuka, mulailah dengan merenungkan kembali perilaku dan pola hidup boros, konsumtif dan tidak arif. Renungkan beberapa perilaku kita yang bagi generasi mendatang akan tampak sebagai sesuatu yang konyol dan merusak. Selanjutnya, pelan-pelan dan setahap demi setahap, kurangi konsumsi atas bahan bakar. Entah itu bensin, minyak tanah, gas maupun solar.

Biasakanlah berjalan kaki. Untuk pergi keluar kota, tentu saja, kita masih bisa menaiki kendaraan. Tetapi, membeli rokok ke warung yang jaraknya Cuma lima puluh meter dengan naik kendaraan bermotor, bukanlah tindakan yang bijak. Jika kita telah melakukan ikhtiar sederhana itu, mulailah mengajak dan mendidik lingkungan kita, untuk mengikuti jejak sederhana tadi.

Lupakan saja polemik soal etika lingkungan atau program audit lingkungan yang dilakukan pemerintah atau pertemuan-pertemuan internasional. Yang terpenting, kita telah memulai dan melampaui banyak orang dalam soal aksi konkrit penyelamatan bumi. Dengan mengurangi konsumsi bahan bakar, mengurangi merokok, memelihara tanaman di halaman rumah, dengan…… apa saja.

Bukankah sebuah revolusi raksasa sekalipun, harus dimulai dari hal-ihwal yang sepele nan sederhana. Pun ikhtiar raksasa penyelamatan bumi. Sehingga dengan ikhtiar yang sederhana itu, ragam bencana alam tidak terjadi lagi dibumi Indonesia dan belahan dunia lainnya serta pemanasan global tidak lagi menjadi selimut tebal bagi bumi.

Siasat Manusia Atas Bumi....

Tahukah anda berapa limitasi beban yang sanggup ditanggung bumi? “ bumi sanggup menyediakan segala kebutuhan manusia, kecuali keserakahannya” (Mahatma Gandhi)

Manusia adalah tertuduh dari ambruknya kualitas bumi. Ia dinilai terlalu asyik memuaskan syahwatnya tanpa mempedulikan akibat pada bumi.Binatang dan manusia sebenarnya serupa: sama–sama hidup dilingkungan tertentu. Bedanya, binatang adalah “mahluk terikat pada lingkungan” manusia justru “mahluk bebas lingkungan”

Perbedaan keduanya ada pada struktur morfologi. Struktur morfologi binatang telah memastikannya hidup dilingkungan tertentu. Ikan dan kera, misalnya, struktur morfologinya memastikan mereka untuk hidup di air dan pohon. Sekali lingkungan yang ”dijadikan” untuknya rusak, ia terancam mati. Makanya, binatang lantas dianggap sebagai ”mahluk terikat pada lingkungan”

Berbeda dengan binatang, struktur morfologi manusia justru belum disesuaikan secara pasti dengan lingkungan tertentu. Tak ada lingkungan dan habitat yang spesifik baginya. Lingkungan dan habitat itu mutlak dicari dan dibangun. Karenanya, tegas Arnold Gehlen, antropolog cum filsuf dari Jerman, manusia ialah ”mahluk bebas lingkungan”.

Bagi manusia, ungkap Ignas Kleden (1993), alam bukanlah suatu yang terberikan (bukan suatu gabe), melainkan berupa tugas (suatu aufgabe). Jika ingin terus bertahan, manusia mutlak mengolah alam. Pasalnya, alamlah yang menyediakan pelbagai hal yang dibutuhkan manusia. Sampai di sini, sikap manusia dan binatang lagi–lagi serupa: agresif terhadap alam.

Evolusi kebutuhan dan kesadaran

Antropolog Bronislaw Malinowski membuktikan, banyak kebutuhan canggih dan kompleks manusia, sejatinya merupakan derivasi dari pelbagai kebutuhan dasar. Melalui Maliniwski pula, kita paham soal evolusi kebutuhan. Teori evolusi kebutuhan percaya bahwa kebutuhan manusia itu tidaklah jumud. Ia niscaya bekembang, dari bentuknya yang sederhana hingga bentuknya yang kian kompleks.

Dahulu, manusia manusia sekedar memenuhi kebutuhan subsisten;kebutuhan minimal untuk mampu bertahan hidup. Seirama dengan kemajuan peradaban, manusia beranjak dari orientasi kebutuhan subsisten. Daftar kebutuhan manusia yang mutlak dipenuhinya kian memanjang. Guna memuaskan daftar panjang kebutuhannya itu, lagi–lagi manusia bergantung kepada alam.

Alamlah yang mampu memenuhi pelbagai kebutuhan itu. Tetapi, tak sekedar bergantung pada alam, manusia malah mengeksploitasi alam. Berbeda dengan binatang yang yang puas begitu kebutuhan dasarnya tuntas terpenuhi, manusia tak akan terpuaskan hanya dengan pemenuhan kebutuhan dasar belaka.

Ditenggarai, evolusi kebutuhan manusia berkembang melesat lebih cepat ketimbang kesadaran manusia tentang keterbatasan alam. Lebih lanjut, pengetahuan manusia dalam mengeksploitasi alam juga lebih dahulu berkembang daripada pengetahuan tentang pemeliharaan dan perlindungan alam. Kiranya masuk akal jika ada yang menuding bahwa kecenderungan untuk mengeksploitasi alam jauh lebih berakar dalam jantung peradaban manusia ketimbang kecenderungan untuk memelihara dan melindungi alam.

Yang menarik ialah hal apa saja yang sebenarnya melempangkan bagi mengarusnya kecenderungan tersebut. Selanjutnya, diperlukan pula sebuah identifikasi dan pemetaan pelbagai hal yang membentuk dan mempengaruhi struktur nalar dan kesadaran manusia dalam memaknai dan memperlakukan alam. Kelak, disanalah penjelasan tentang proses mengarusnya kecenderungan manusia untuk mengeksploitasi alam, dapat ditemukan.

Beberapa pihak meyakini bahwa pandangan antroposentrisme ialah sebab terpenting dari perilaku eksploitatif manusia. Sebagai sebuah pandangan dunia, antroposentrisme memang terlampau bias kepentingan manusia. Ia meyakini bahwa manusia ialah satu – satunya mahluk yang superior dan berkuasa atas bumi beserta isinya.

Tetumbuhan, binatang dan bumi menjadi tak berharga dan semata dipahami sebagai sumber daya yang bebas dieksploitasi. Tetapi menuding antroposentrisme sebagai sebab tunggal eksploitasi atas bumi, bukanlah pekerjaan bijak dan arif. Selain terlampau naif, kita tidak hendak, dan juga tak mau,terpelanting kedalam kubangan reduksionisme dan determinisme. Tentu terdapat faktor lain yang berkelidan erat dalam mempengaruhi dan membentuk kesadaran manusia dalam memaknai dan memperlakukan alam. Bisa jadi, faktor itu ialah paradigma antroposentrisme, negara, kapitalisme, patriaki, pendidikan, ilmu pengetahuan modern, mitos bahkan agama.

Antroposentrisme yang merusak justru ditasbihkan kesucian epistemologinya oleh ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan modern, rujuk Vandana Shiva, ialah kabar buruk dari ideologi patriarkal barat. Shiva, aktivis ekofeminis India paling cenerlang, mengkritik semangat ilmu pengetahuan barat sebagai reduksionisme yang memangkas habis bumi, pengetahuan non barat, dan juga perempuan.

Salah seorang pemikir yang mesti bertanggung jawab, tegas Shiva, ialah Rene Descartes. Descartes, via doktrin cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada), membagi dua kutub secara diametral: manusia sebagai res cogitans (subjek yang berfikir), dan alam sebagai res extensa (subjek yang dipikirkan). Naga – naganya, doktrin Cartesian mentasbihkan perceraian filosofis manusia dengan alam.

Demikianlah, manusia tak hanya mengatasi alam, melainkan juga terpisah dari alam. Manusia tidak dilihat sebagai “a part for nature,” menurut Dr. J. Sudarminta, SJ.,staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.